Sabtu, 07 Oktober 2017

Model-Model Konseling

Konseling Lintas Budaya
Model-Model Dalam Konseling


D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Nama         : Wulan Mentari
NIM           : 33141016
Jurusan      : BKI 5






Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Bimbingan dan Konseling Islam
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
2017


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji dan sanjung hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Semoga shalawat dan salam tetap terlimpah kepada junjungan kita Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang tegak diatas agama-Nya hingga akhir zaman.
Dengan memohon Ridha Yang Maha Kuasa, atas penelitian yang berjudul “Model-Model Konseling” dan dengan syukur kepada-Nya karena pembuatan penelitian ini dapat diselesaikan dengan sebaik mungkin.
Pada kesempatan ini kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing. Dan sebagai manusia yang tidak lepas dari lupa dan salah, dalam makalah ini tentunya banyak ditemukan berbagai kesalahan dan kelalaian. Maka dari itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dalam kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan.
Harapan kami, semoga makalah ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan kepada pembaca umumnya.


Medan, Oktober 2017

Pemakalah






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Model-model konseling merupakan model-model kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah memicu lajunya perkembangan peradaban manusia, yang berdampak pada mobilitas penduduk, modal,nilai dan idiologi. Dari suatu tempat ketempat lain. Akibatnya, tercipta suatu pemukiman dengan beragam budaya. Keragaman budaya ini pada kondisi normal dapat menumbuhkan keharmonisan hidup, namun dalam kondisi bermasalah dapat menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dan menyesuaikan antar budaya.
Adanya keragaman budaya merupakan realitas hidup yang tidak dapat dipungkiri, mempengaruhi perilaku individu dan seluruh aktivitas manusia, yang termasuk didalamnya adalah aktivitas konseling. Karena itu, dalam melakukan konseling, sangat penting untuk mempertimbangkan budaya yang ada. Namun dalam kenyataanya, kesadaran budaya dalam praktek konseling masih sangat kurang. Hal ini sangat berbahaya konseling yang tidak mempertimbangkan budaya klien yang berbeda akan merugikan klien. Menurut freire, pendidikan yang tidak melihat budaya klien adalah pendidikan yang menindas. Kesadaran budaya harus menjadi tujuan pendidikan termasuk konseling yang lebih mengena.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Model-model Konseling ?
2.      Bagaimana Model-model Konseling berdasarkan perkembangannya ?
3.      Bagaimana Model –Model Konseling Lintas Budaya ?
4.      Bagaimana Pendekatan pada Konseling ?
5.      Bagaimana Pendekatan Konseling Lintas Budaya ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Model-Model Konseling
2.      Untuk mengeathui Model- Model Konseling berdasarkan Perkembangannya
3.      Untuk mengetahui Model-Model Konseling lIntas Budaya
4.      Untuk mengetahui Pendekatan pada Konseling
5.      Untuk mengetahui Pendekatan Konseling Lintas Budaya


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Model – Model Konseling
Pelayanan Bimbingan Konseling di lembaga pendidikan formal diselenggarakan dalam rangka suatu program bimbingan yaitu suatu rangkaian kegiatan bimbingan yang terencana, terorganisir dan terkoordinasi selama periode waktu tertentu. Suatu program bimbingan dan konseling dapat disusun dengan berdasarkan pada suatu kerangka berfikir dan pola dasar pelaksanaan tertentu.[1]
Model  adalah bentuk pendekatan yang digunakan untuk melakukan konseling. Pendekatan diambil dari hasil penemuan para tokoh penemu teori. Model bimbingan dalam hal ini bisa diartikan sebagai kerangka berfikir tentang apa itu bimbingan dan hal ini dijadikan pedoman dalam praktik pelayanan bimbingan.[2]
Adapun model-model dalam konseling yaitu :
1.      Terapi Psikoanalitik
a)      Tujuan Konselor
Tujuan utama konseling dalam pola fikir psikoanalisis adalah membuat hal-hal yang tidak disadari menjadi disadari. Merekonstruksi kepribadian dasar. Hal-hal yang terdapat dilevel ketidaksadaran dibawa keleval kesadaran. Ketika hal-hal ditekan didalam ketidak sadaran dimunculkan kembali, maka masalah tersebut dapat diatasi secara lebih rasional dengan menggunakan berbagai metode.
b)      Peranan Konselor
Kemampuan konselor dalam membangun hubungan interpersonal dalam proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan konseling. Dalam proses konseling, konselor berperan mempertahankan tiga kondisi inti yang menghadirkan iklim kondusif untuk mendorong terjadinya perubahan terapeutik dan perkembangan konseli. Dalam peran tersebut konselor menunjukan sikap yang selaras dan keaslian, penerimaan tanpa syarat, dan pemahaman empati yang tepat.
2.      Terapi Humanistik
a)      Tujuan Konselor
Membantu konseli menemukan konsep dirinya yang lebih positif lewat komunikasi konseling, dimana konselor mendudukan konseli sebagai orang yang berharga, orang yang penting, dan orang yang memiliki potensi positif dengan penerimaan tanpa syarat, yaitu menerima konseli apa adanya. Tujuan utama pendekatan konseling yaitu pencapaian kemandirian dan integrarsi diri. Dalan pandangan rogres (1977) tujuan konseling bukan semata-mata menyelesaikan masalah tetapi membantu konseli dalam proses pertumbuhannya sehingga konseli dapat mengatasi masalah yang dialaminya sekarang dengan lebih baik dapat mengatasi masalahnya sendiri dimasa yang akan datang.
b)      Peranan Konselor
Kemampuan konselor dalam membangun hubungan interpersonal dalam proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan konseling. Dalam proses konseling, konselor berperan mempertahankan tiga kondisi inti yang menghadirkan iklim kondusif untuk mendorong terjadinya perubahan terapeutik dan perkembangan konseli. Dalam peran tersebut konselor menunjukan sikap yang selaras dan keaslian, penerimaan tanpa syarat, dan pemahaman empati yang tepat.
3.      Client-Centered
a)      Tujuan
Menyediakan suatu iklim yang aman dan kondusif  bagi eksplorasi diri klien sehingga ia mampu menyadari penghambat-penghambat pertumbuhan dan aspek-aspek pengalaman diri yang sebelumnya diingkari. Membantu klien agar mampu bergerak kearah keterbukaan terhadap pengalaman serta meningkatkan spontanitas dan perasaan hidup.
4.      Terapi Gestalt
a)      Tujuan Terapi Gestalt
Tujuan terapi gestalt bukanlah penyesuaian terhadap masyarakat. Perls mengingatkan bahwa kepribadian dasar pada zaman kita adalah neurotik sebab, menurut keyakinannya, kita kita hidup dimsyarakat yang tidak sehat. Menurut perls kita bisa memilih menjadi bagian dari ketidaksehatan kolektif atau untuk menghadapi resiko yang menjadi sehat. Tujuan selanjutnya adalah membantu klien agar menemukan pusat dirinya. Perls mengatakan, “jika berpusat pada diri anda sendiri, maka anda tidak harus disesuaikan lagi, maka apapun yang lewat dan diasimilasi oleh anda, anda bisa memahaminya dan anda berhubungan dengan apapun yang terjadi.
5.      Terapi Behavior
a)      Tujuan Konselor
Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau modifikasi prilaku konseli, yang diantaranya untuk: Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif. Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari. Membantu konseli membuang respons-respons yang lama yang merusak diri atau maladaptif dan mempelajari respons-respons yang baru yang lebih sehat dan sesuai(adjustive). Konseli belajar prilaku baru dan mengeliminasi prilaku yang maladaptif, memperkuat serta mempertahankan prilaku yang diinginkan. Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan bersama antara konseli dan konselor.
b)      Peranan Konselor
Peran konselor dalam konseling behavioral berperan aktif, direktif dan menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan solusi dari persoalan individu. Konselor behavioral biasanya berfungsi sebagai guru, pengarah dan para ahli yang mendiagnosa tingkah laku yang maladaptif dan menentukan prosedur yang mengatasi persoalan tingkah laku individu. Dalam prosses konseling, konseli yang menentukan tingkah laku apa (what) yang akan diubah, sedangkan konselor menentukan cara apa yang digunakan untuk mengubahnya (how) (corey, 1986, p. 180). Selain itu, konselor juga sebagai model bagi kliennya. Bandura mengatakan bahwa sebagian besar proses belajar terjadi melalui pengalaman langsung yang didapat melalui observasi langsung terhadap tingkah laku orang lain. Ia berpendapat bahwa dasar fundamental proses belajar tingkah laku adalah imitasi, dengan demikian, konselor adalah model signifikan bagi kliennya.
6.      Terapi Realitas
a)      Tujuan Terapi Realitas
Tujuan umum konseling realitas adalah membimbing konseli kearah mempelajari prilaku yang realistis dan bertanggung jaawab serta mengembangkan “identitas keberhasilan”. Konselor berkewajiban membantu konseli dalam membuat pertimbangan-pertimbangan nilai tentang prilakunya sendiri dan dalam merencanakan tindakan bagi perubahannya.
b)      Peranan Konselor
Konselor harus kreatif dan mencoba melakukan sintesis analitik  bagian-bagian dari berbagai model yang mungkin lebih bermanfaat bagi penanganan konselinya. Dengan kata lain, konselor tidak memilih satu model pendekatan saja untuk semua kasus. Akan tetapi konselor dituntut untuk  memilih bagian-bagian teori yang berbeda secara selektif untuk dimanfaatkan terhadap kasus tertentu.[3]
B.     Model-Model Konseling Berdasarkan Perkembangannya
Terdapat beberapa model bimbingan yang berkembang mulai priode awal sampai priode sekarang. Model bimbingan ini sangat dipengaruhi oleh pandangan para ahli bimbingan terhadap individu yang dibimbing, konselor, proses, metode, dan hasil bimbingan yang diharapkan. Di samping itu model ini juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita perlu memahami model-model bimbingan ini agar kita memahami secara utuh perkembangan model bimbingan mulai dari awal sampai sekarang.
a.      Model bimbingan priode awal
1). Model bimbingan ini merupakan buah pikiran atau gagasan dari “founding gather of guidance,” yaitu Frank Parson. Model ini berupaya menjodohkan (matching) karakteristik (kemampuan, minat, dan temperamen) individu dengan syarat-syarat yang dituntut suatu pekerjaan (okupasi). Dia menyakini bahwa jika individu bekerja dalam suatu pekerjaan yang sesuai dengan karakteristik pribadinya, maka yang diuntungkan bukan hanya individu itu sendiri, tetapi juga masyarakat atau perusahaan (lembaga) yang mempekerjakan individu itu sendiri.
Berdasarkan pengamatan Parson taerhadap para pemuda/i di
b.      Model-model bimbingan priode berikutnya
1). Bimbingan sebagai distribusi dan penyesuaian
Pada pertengahan tahun 1920-an, William M. Proctor mengemukakan bahwa sekolah Menengah Atas di Amerika sangat memerlukan program bimbingan. Dia berpendapat bahwz bimbingan merupakan kekuatan mediasi (mediating force)yang membantu para siswa untuk mengatasi masalah-masalah, baik di sekolah maupun dalam kehidupan pada umumnya. Dia menyakini bahwa para siswa membutuhkan bantuan dalam memilih bidang studi, kegiatan ekstrakurikuler, pendidikan lanjutan, dan sekolah-sekolah kejurusan sesuai dengan kemampuan, minat, dan tujuanna. Selanjutnya Proctor mengemukakan bahwa fungsi bimbingan sangat terkait proses distribusi dan penyesuaian (adjustment) bagi para siswa untuk mengatasi masalah-asalahnya, baik disekolah maupun maupun dalam kehidupan pada umumnya.
2). Bimbingan sebagai proses Klinis
Bimbingan sebagai proses klinis pertama kali diperkenalkan oleh M.S. Viteles, Donald G. Paterson, dan E.G. Wiliamson. Model bimbingan ini ditandai dengan ciri-ciri (1)  sebagai proses terhadap metode tiruan yang sering diangkap sebagai bimbingan, (2)berupaya mengembangkan teknik-teknik untuk menganalisis individu secara komprehensif, (3) menekankan peranan konselor yang terlatih secara profesional yang bertugas untuk membantu siswa yang memiliki masalah kesulitan penyesuaian diri, dan (4) mengikuti prosedur yang teratur tetapi tidak mekanis, yaitu: analisis, sintesis, diagnosis, konseling, dan tindak lanjut. Bimbingan sebagai suatu proses klinis menekankan kepada penggunaan tes psikologis, teknik klinis, dan studi diagnostik analitik, sehingga clincian (konselor) dapat memahami kliennya secara lebih cepat dan akurat, serta membeikan treatment yang lebih cepat juga. Para konselor tiak menaruh perhatian terhadap pengambilan keputusan bagi klien, tetapi lebih kepada upaya mengorganisasikan situasi belajar, sehingga klien memperoleh wawasan atau pemahaman tentang faktor penyebab masalah yang dihadapinya, dan memilih alternatif tingkah laku yang tepat.
3). Bimbingan sebagai pengambilan keputusan
Dua orang ahli, yaitu Jones dan Myer adalah yang pertama kali mempersepsikan bimbingan sebagai pengambilan keputuasan. Kedua orang ahli berpendapat bahwa situasi bimbingan itu eksis hanya ketika siswa membutuhkan bantuan dalam membuat pilihan, interprestasi, atau penyesuaian diri. Bagi Jones, bimbingan merupakan pemberian bantuan dalam membuat pilihan dan penyesuaian diri, pemecahan masalah, dan pengembangan kemampuan untuk mengarahkan diri (self-direction).
Dalam model bimbingan ini, konselor memiliki tugas (1) mendorong siswa untuk memaami nilai-nilai, dan menyertakan nilai-nilai pilihannya dalam mengambil keputusan; dan (2) memberikan informasi kepada klien tentang peluang-peluang yang bermanfaat dari setiap alternatif yang dipilih. Model bimbningan ini berasumsi bahwa (1) keragaman antara individu cukup berarti, baik dalam aspek abilitas maupun interes; dan (2) permasalahn tidak dapat diselesaikan dengan sukses oleh para pemuda ( remaja ) tanpa bantuan dari orang lain yang profesional ( konselor ). Model bimbingan ini sangat berkontribusi terhadap pegembangan sikap demokratis para siswa, karena mereka dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
4) Bimbingan sebagai Sistem Eklektik
Kata “eclectic” berarti menyeleksi atau memilih doktrin, atau metode yang tepat dari berbagai sumber, teori atau sistem. Bimbingan sebgai sistem elektik tidak dapat diidentifikasi dengan satu teori tunggal, tetapi merupakan representasi dari pendapat atau teori Strang, Traxler, Erickson, Froechlich, Darley, Thorne, dan yang lainnya. Strang merupakan salah seorang ahli bimbingan elektik, yang sejak tahun 1932 telah banyak mempublikasikan pendapat-pendapatnya.
Model bimbingan elektik memiliki beberapa asumsi dasar, yaitu; (1) individu memerlukan bantuan profesional secara periodik dalam rangka memahami diri dan situasi, serta memecahkan masalahnya; dan (2) individu memiliki kemampuan untuk belajar dan membantu perencanaan; dan (3) pemberian layanan yang berorientasi kapada teori tunggal memiliki keterbatasan dalam prosedur, teknik, atau pandangan dibandingkan dengan yang bersumber kepada beberapa teori.
Model bimbingan ini merupakan kompromi dari beberapa teori dalam upaya mereduksi polarisasi dua kutub pelayanan yang pendekatannya sangat berbeda, yaitu kutub konseling direktif dari  Williamson dan kutub konseling non-direktif dari Rogers.
c.       Model Bimbingan Kontemporer
1)      Bimbingan sebagai Konstelasi Layanan
Hoyt mengenalkan model ini pada tahun 1962. Dan mengartikan bimbingan sebagai bagian dari layanan pribadi siswa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu melalui perluasan pelayanan sekolah bagi para siswa, yang terkait dengan pelayanan sekolah bagi para siswa, yang terkait dengan masalaha-masalah pribadi, pilihan, dan pengembalian keputusan yang sesemuanya itu diarahkan kepada pencapaian kematangan.
Hoyt berpendapat bahwa fungsi konselor dalam hubungannya dengan para guru dan spesialis adalah (1) konselor sebagai konsultan bagi para guru dalam hal memberikan penjelasan tentang data siswa, mendorong guru agar mau bekerjasama secara langsung dengan siswa; dan (2) mereferal para siswa kepada para spesialis pendapat yang lain adalah bahwa kepala sekolah dipandang sebagai orang yang sangat bertanggug jawab secara langsung terhadap terselenggarakannya program bimbingan.
Model konseling ini biasanya eksis di sekolah untuk mendukung pekerjaan para guru,. Program bimbingan dibutuhkan karena siswa mengalami kesulitan belajar. Oleh karena itu para siswa perlu diberikan pengajaran remedial, agar mereka berhasil dalam belajarnya. Pandangan ini menganggap guru sebgai seorang profesional utama di sekolah, sementara layanan bimbingan hanya sebagai pelengkap, dan konselor dipandang sebagai tenaga teknis.
2)      Bimbingan Perkembangan
 Konsep bimbingan suatu proses perkembangan menekankan pemberian bantuannya kepada semua siswa, dan meliputi semua bidang bimbingan: vokasional, pendidikan, personal, dan sosial pada semua tahap atau rentang kehidupan. Para ahli yang dipandang sebagai pengembang model ini adalah Wilson Little dan A.L. Chapman yang menyusun buku Developmentan Guidance in the secondary School;  herman J Peters dan Gail Farwell, yang menyusun buku Guidance: A D evelopmental Approach;dan Robert Mathewson yang menyusun buku Guidance Policy and Practice.
Bimbingan dan konseling perkembangan merupakan pandangan mutakhir yang bertitik tolak dari asumsi yang positif tentang potensi manusia. Berdasarkan asumsi ini bimbingan dan konseling dipandang sebagai suatu proses perkembangan yang menekankan kepada upaya membantu semua peserta didik atau individu dalam semua fase perkembangannya, yang menyangkut aspek-aspek vokasional, pendidikan, pribadi dan sosial.
Methewson mencatat empat hal yang terkait dngan mengapa individu membutuhkan bimbingan, yaitu sebagai berikut.
a). Kebutuhan individu untuk menilai dan memahami diri.
b). Kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri dan tuntutan lingkungan.
c). Kebutuhan untuk memiliki orientasi atau wawasan tentang berbagai kondisi yang terjadi pada masa sekarang dan yang akan datang.
d). Kebutuhan untuk megembangkan potensi pribadi.
Bimbingan pengembangan didasarkan kepada landasan filosofis, individualitas, dan organisatoris. Landasan-landasan itu dijelaskan sebagai berikut.
(a). Landasan filosofis
Bimbingan pengembangan diarahkan kepada pencapaian perkembangan pribadi yang adekuat dan efektif melalui pemahaman diri dan lingkungan, pemahaman tentang hubungan anatara diri dengan lingkungan, dan pemahaman nilai-nilai pribadi dan sosial.
(b) landasan individualitas
Bimbingan pengembangan menekankan kepada (1) kekuatan individu untuk merancang, beraksi (berperilaku), dan menilai hubungan antara dirinya dan lingkungannya; (2) pengembangan potensi diri, (3) cara individu dalam menafsirkan lingkungan atau situaasi yang terkait dengan kebutuhan, minat dan nilai-nilai serta dampaknya terhadap penampilan dirinya. Melalui proses bimbingan , individu berlatih untuk mengembangkan potensi dirinya dan peluang-peluang yang menunjangnya.
(c) landasan organisatoris
Keberhasilan bimbingan bergantung kepada kerjasama antara pihak kepala sekolah, konselor, guru-guru, dan personel sekolah lainnya. Masing-masing mereka diharapkan memiliki pemahaman tentang siswa. Proses bimbingan berlangsung dari mulai masa kanak-kanak samapi dewasa, yang pendekatannya bersifat komprehensif.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa bimbingan dengan pendekatan perkembangan didasarkan kepada premis-premis (1) semua individu membutuhkan bimbingan dalam semua rentang kehidupan, (2) prosesnya bersifat komorehensif, (3) tujuan bimbingan diarahkan kepada pengembangan kemampuan atau potensi individu, sehingga dia mampu mengembangkannya sendiri secara bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain ( masyarakat ). [4]
C.    Model –Model Konseling Lintas Budaya
Palmer and laungani (2008 : 97-109) mengajukan 3 model konseling lintas budaya yaitu : 1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.
1.      Model berpusat pada budaya (Culture Centred Model)
Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualism, bebas, dan materialisme. Sedangkan budaya timur menekankan komumalisme, emosionalisme, determinisme dan spirituaisme.
Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) gabungan antara budaya konselor dan klien dalam sebuah konseling. Seringkali terjadi tidak sejalan atau tidak sesuai antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseling tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseling tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang secara keseluruhan terhadap budaya klien begitupun dengan konselor tidak memahami budaya klien secara menyeluruh. Atau bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya masing-masing dari mereka.
Oleh sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian. Artinya fokus utama culture centred model (model berpusat pada budaya) adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan bagi kedua pihak (konselor dan klien) dan menjadi pola perilaku individu. Dengan cara ini, mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.
Dalam proses konseling lintas agama dan budaya penemuan dan pemahaman konselor dan klien terhadap beda budaya sangat penting. Dan dengan cara ini antara konseling dan konselor dapat memahami identitas masing-masing budaya berbeda yang melekat diantara konselor dan klien.
Pengajuan model konseling lintas budaya didasarkan pada hubungan budaya antara konselor dan klien yaitu:
1)       Adanya kemungkinan perbedaan asumsi antara konselor dengan klien tentang budaya mereka, dan bahkan dalam budayanya sendiri.
2)       Adanya kemungkinan tidak faham atau mengerti konselor dan klien dengan budaya yang menjadikan alasan dasar mereka dalam budaya tersebut.


2.      Integrative Model
Model integrative dengan pengalaman-pengalaman budaya dan agama sebagai suatu proses perkembangan pribadi. Seperti uji coba model terhadap orang kulit hitam Amerika, jones (Palmen and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam konseling model integrative, yaitu se agai berikut:
a.       Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
b.       Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
c.        Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture)
d.       Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and endowments).
Menurut jones (palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannnya sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjdi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang tidak didasari termasuk apa yang diungkapkan jung (1972) dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran kolektif), yakni nilai-nilai budaya yang diturunkan dari generasi kegenerasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengakses nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai variabel diatas.
3.      Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam pengembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradikma memfasilitasi dialog dan peningkatan sensivitas traskutural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya dengan sembilan model dimensional kerangka pikirannya
a.       Konsepsi sakit (sickness conception)
Seseorang dikatakan sakit apabila:
a)       Melakukan penyimpangan norma-norma budaya
b)       Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa
c)       Melakukan pelanggaran hokum
d)       Mengalami masalah interpersonal

b.      Causal/healing beliefs
a)      Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling
b)      Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseling
c)      Menjadikan keyakinan konseling sebagai hal familiar bagi konselor
d)     Menunjukan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagi (shere) tentang keyakinan yang sama.

c.       Kriteria sehat (wellbeing criteria)
Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya.
a)      Mampu menentukan sehat dan sakit
b)       Memahami permasalahan sesuai dengan konteks
c)       Mampu memcahkan ketidak berfungsian interpersonal
d)       Menyadari dan memahami budayanya sendiri.

d.      Body function beliefs
a)      Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebih bermakna
b)      Sosial dan okupasi konseling semakin membaik dalam kehidupan sehari-hari
c)      Muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseling

e.       Health practice efficacy beliefs. Ini merupkan implementasi pemecahan masalah dengan pengarahan atas keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseling.[5]

D.    Pendekatan Konseling
1.      Pendekatan Psikoanalisis
Psikoanalisis diciptakan oleh Sigmund Freud pada tahun 1986. Pada kemunculannya, teori Freud ini banyak mengundang kontroversi, eksplorasi, penelitian dan dijadikan landasan berpijak bagi aliran lain yang muncul kemudian. Hal-hal yang perlu dibicarakan mengenai pendekatan psikoanalisis ini adalah: bagaimana psikoanalisis memandang dinamika kepribadian manusia, perkembangan kepribadian, kesadaran dan ketidaksadaran, mekanisme pertahanan ego, peran dan fungsi konselor.

2.      Pendekatan Eksistensial-Humanistis
Pendekatan Eksistensial-Humanistis pada hakikatnya mempercayai bahwa individu memiliki potensi untuk secara aktif memilih dan membuat keputusan bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Pendekatan ini sangat menekankan teantang kebebasan yang bertanggung jawab.  Individu diberikan kebebasan seluas-luasnya dalam melakukan  tindakan, tetapi harus berani bertanggung jawab sekalipun mengandung resiko bagi dirinya.
Menurut Buhler dan Allen, seorang ahli psikologi humanistis harus memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut:
1)      Menyadari pentingnya pendekatan dari pribadi kepribadi
2)      Menyadari dan peran dan tanggung jawab konselor
3)      Mengakui adanya hubungan timbal balik dalam hubungan konseling
4)      Konselor harus terlibat sebagai pribadi yang menyeluruh dengan klien
5)      Mengakui bahwa keputusan dan pilihan akhir terletak ditangan klien
6)      Memandang konselor sebagai model yang dapat menunjukkan pada klien potensi bagi tindakan yang kreatif dan positif
7)      Member kebebasan pada klien untuk mengungkapkan pandangan, tujuan, dan nilainya sendiri
8)      Mengurangi ketergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.
3.      Pendekatan Client-Centered
Willis (2009) mengatakan bahwa Client-Centered sering pula disebut sebagai psikoterapi non-directive yang merupakan metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog dengan klien agar tercapai gambaran antara ideal self  (diri ideal) dengan actual self (diri sebenarnya). Ciri-ciri pendekatan Client-Centered adalah:
1)      Ditujukan kepada klien yang mampu memecahkan masalahnya yang tercapai kepribadian klien yang terpadu
2)      Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan, bukan aspek intelektualnya
3)      Titik tolak konseling adalah masa sekarang bukan masa lalu
4)      Tujuan konseling adalah menyesuaikan antara diri ideal dan diri sebenarnya
5)      Klien berperan paling aktif dalam proses konseling, sedangkan konselor hanya bertindak pasif-relektif (klien bukan hanya diam tapi membantu klien aktif memecahkan masalahnya)
Rogers mengemukakan beberapa sifat konselor yang dijadikan sebagai teknik dalam client-centered sebagai berikut:
a.       Empathy adalah kemampuan untuk sama-sama merasakan kondisi klien dan menyampaikan kembali perasaan tersebut.
b.      Positive Regard (acceptance) adalah menerima keadaan klien apa adanya secar netral
c.       Congruence konselor menjadi pribadi yang terintegrasi antara apa yang dikatakan dan yang dilakukannya

4.      Terapi Gestalt.
Mempelajari terapi Gestalt akan memberikan pemahaman pada pembaca mengenai teknik pendekatan yang menempatkan manusia sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk berkembang. Dalam terapi Gestalt, adalah istilah yang dikenal sebagai “urusan yang tidak selesai”. Hal ini mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, dan rasa diabaikan. Karena tidak diungkapkan secara sadar, perasaan-perasaan ini tetap tersimpan dan dibawa ke kehidupan sekarang. Untuk menangani urusan yang tidak selesai tersebut, individu harus membawanya ke dalam proses kesadaran dan mengakuinya secara bertanggung jawab (Corey, 2009).
Sasaran utama teraphy Gestalt adalah pencapaian kesadaran. Tanpa keasadaran, klien tidak akan mampu menyentuh dimensi kepribadiannyayang ingin ditolak atau dihindarinya. Sehingga kesdaran dijadikan alat oleh teraphy Gestalt untuk mencapai tujuan teraphy (Corey, 2009).
a.       Teknik Terapi Gestalt
1.      Pengalaman sekarang
2.      Pengarahan langsung
3.      Perubahan bahasa
4.      Teknik kursi kosong
5.      Berbicara dengan bagian dari dirinya

5.      Terapi Tingkah Laku (Behavioristik)
Terapi Behavioristik dugunakan sekitar awal 1960-an atas reaksi terhadap psikoanalisis yang tidak banyak dianggap tidak banyak membantu mengatasi masalah klien. Rachaman dan Wolpe (dikutip dari Latipun, 2011) mengatakan bahwa terapi Behavioristik dapat menangani kompleksitas masalah klien mulai dari kegagalan individu untuk belajar merespons secara adaptif hingga mengatasi masalah neurosis.
Para ahli Behavioristik memandang bahwa gangguan tingkah laku adalah akibat dari proses belajar yang salah. Oeh karena itu, perilaku tersebut dapat diubah dengan mengubah lingkungan lebih positif sehingga perilaku menjadi positif pula.
a.      Dinamika Keprbadian Manusia
Dustin & George mengemukakan pandangan mereka tentang konsep manusia sebagai berikut:
1)      Manusia bukanlah individu yang baik atau jahat sehingga memiliki kemampuan untuk berprilaku baik atau jahat.
2)      Manusia mampu mengonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya sendiri
3)      Manusia dapat memperoleh perilaku yang baru
4)      Perilaku manusia dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perilaku orang lain.

b.      Peran dan Fungsi Konselor
Bandura mengatakan bahwa proses fundamental yang paling memungkinkan klien dapat mempelajari tingkah laku baru adalah melalaui proses imitasi atau pencontohan social. Konselor dijadikan model pribadi yang ingin ditiru oleh klien karena klien cenderung memandang konselor sebagai orang yang patut untuk diteladani.
Krasner mengatakan bahwa konselor berperan sebagai “mesin perkuatan” bagi kliennya. Konselor dalam praktiknya selalu memberikan penguatan positif atau negative untuk membentuk tingkah laku baru klien.

c.       Tujuan Terapi Behavioristik
a)      Tujuan komseling harus disesuaikan dengan keinginan klien
b)      Konselor harus mampu bersedia membantu klien mencapai tujuannya
c)      Konselor mampu memperkirakan sejauh mana klien dapat mencapai tujuannya

6.      Terapi Rasional-Emotif
Terapi rasional-emotif diperkenalkan pertama kalinya oleh seorang klinisi yang bernama Albert Ellis pada tahun 1955. Pada awalnya Ellis merupakan seorang psikoanalisis, tetapi kemudian ia merasakan bahwa psikoanalisis tidak efisien. Ia juga seorang ahli terapi yang sangat bersebrangan dengan penganut humanistis.
Rasional-emotif menolak keras pandangan psikoanalisis yang mengatakan bahwa pengalaman masa lalu adalah penyebab gangguan emosional individu. Menurut Ellis penyebab gangguan emosional adalah karena pikiran irasional individu dalam menyikapi peristiwa atau pengalaman yang dilaluinya.
Menurut pandangan Ellis, rasioanl-emotif merupakan teori yang komprehensif karena menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan individu secara keseluruhan yang mencakup aspek emosi, kognisi dan perilaku. Masalah klien yang mendapat teraphy rasional-emotif, antara lain kecemasan pada tingkat moderat, gangguan neurosis, gangguan karakter,  gangguan makan, ketidakmampuan menajalin hubungan interpersonal, masalah perkawinan, adiksi, dan disfungsi seksual. Adapaun individu yang tidak dapat ditangani rasioanl-emotif adalah anak-anak (khususnya autisme), gangguan mental grade  bawah, skizofrenia jenis katatonik.
a.      Dinamika Kepribadian manusia
Pandangan Ellis (dikutip dari Gunarsa, 1996 ) terhdap konsep manusia adalah sebagai berikut:
a)      Manusia mengadaptasikan dirinya terhadap perasaan yang mengganggu pribadinya
b)      Kecenderungan biologisnya sama dengan kecenderungan cultural yang berpikir salah dan tidak ada gunanya hanya akan mengecewakan dirinya sendiri.
c)      Memiliki kemampuan untuk memilih reaksi yang berbeda dengan yang biasanya ia lakukan
d)     Menolak mengecewakan diri sendiri terhadap hal-hal yang akan terjadi
e)      Melatih diri sendiri agar mempertahankan diri dari gangguan

b.      Peran dan Fungsi Konselor
1)      Mengajak klien untuk berpikir tentang bentuk-bentuk keyakinan irasional yang memengaruhi tingkah laku
2)      Menentang klien untuk menguji gagasan-gagasan irasionalnya
3)      Menunjukkan ketidaklogisan cara berpikir klien
4)      Menggunakan analisis logika untuk meminimalkan keyakinan irasional klien
5)      Menunjukkan pada klien bahwa keyakinan irasionalnya adalah penyebab gangguan emosional dan tingkah laku
6)      Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi keyakinan irasional klien
7)      Menerangkan pada klien bahwa keyakinannya dapat diubah menjadi irasional dan memiliki landasan empiris
8)      Mengajarkan pada klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah yang membantunya agar dapat berpikir secara rasional dan meminimalkan keyakinan yang irasional.[6]

7.      Terapi Realitas
Terapi realitas dikembangkan oleh William Glasser, seorang insinyur kimia sekaligus psikiater pada tahun 1950-an. Adapun focus terphy realitas ini adalah tingkah laku sekarang yang ditampilkan indvidu.
E.     Pendekatan Konseling Lintas Budaya
Pendekatan dalam konseling lintas budaya yaitu:
1.      Pendekatan etik (universal) yang menekankan inklusivitas, komunitas atau keuniversalan kelompok-kelompok individu atau klien
2.       emik (ke-khasan budaya) yang menyoroti karakteristik yang khas dari suatu populasi secara spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling yang khusus bagi mereka.
3.       Pendekatan transcultural, yakni gabungan dari keduanya yang lebih menekankan bahwa kelibatan seseorang dalam konseling merupakan proses yang aktif dengan mempertimbangkan keuniverslan dan khasaan dari budaya atau agama klien.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Penerapan konseling lintas budaya hendaknya mengharuskan konselor yang peka tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya berbedaan budaya antar kelompok klien satu dengan kelompok klien lainnya. Dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada dilingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu.













DAFTAR PUSTAKA
Hallen A. 2002. Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Ciputat Pars
Gladding, Samuel. 2012. Konseling. Jakarta : PT Indeks Jakarta
Lumongga Namora. 2011. Memahami Dasar-dasar Konseling. Jakarta: Kencana
Yusuf Syamsu. Nurihsan Juntika. 2005. Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung : PT Remaja Rosdakarya













[1] Hallen A, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta : Ciputat Pars, 2002), h. 11
[2] Gladding, Samuel, Konseling(Jakarta : PT Indeks Jakarta, 2012), h. 20 
[3] https://uthaangel.wordpress.com/2013/04/08/model-model-konseling/ (diakses pada Sabtu, 23 September 2017, pukul 15 :11 p.m)
[4] Syamsu Yusuf, Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 45-55
[5] https://ndesdesi.wordpress.com/category/model-model-konseling/ (diakses pada sabtu, 23 September 2017, pukul 1:41 p.m)
[6] Namora Lumongga Memahami Dasar-dasar Konseling, (Jakarta: Kencana 2011) Hal140-182