Model-Model Dalam Konseling
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Nama : Wulan
Mentari
NIM :
33141016
Jurusan :
BKI 5
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Bimbingan dan
Konseling Islam
Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara
2017
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala
puji dan sanjung hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Semoga shalawat dan
salam tetap terlimpah kepada junjungan kita Rasulullah saw, keluarga, sahabat,
dan orang-orang yang tegak diatas agama-Nya hingga akhir zaman.
Dengan
memohon Ridha Yang Maha Kuasa, atas penelitian yang berjudul “Model-Model
Konseling”
dan
dengan syukur kepada-Nya karena pembuatan penelitian ini dapat diselesaikan
dengan sebaik mungkin.
Pada
kesempatan ini kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing. Dan
sebagai manusia yang tidak lepas dari lupa dan salah, dalam makalah ini
tentunya banyak ditemukan berbagai kesalahan dan kelalaian. Maka dari itu,
kritik dan saran yang sifatnya membangun dalam kesempurnaan makalah ini sangat
kami harapkan.
Harapan
kami, semoga makalah ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan kepada
pembaca umumnya.
Medan, Oktober 2017
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Model-model konseling merupakan
model-model kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah memicu lajunya
perkembangan peradaban manusia, yang berdampak pada mobilitas penduduk,
modal,nilai dan idiologi. Dari suatu tempat ketempat lain. Akibatnya, tercipta
suatu pemukiman dengan beragam budaya. Keragaman budaya ini pada kondisi normal
dapat menumbuhkan keharmonisan hidup, namun dalam kondisi bermasalah dapat
menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dan menyesuaikan antar budaya.
Adanya keragaman budaya
merupakan realitas hidup yang tidak dapat dipungkiri, mempengaruhi perilaku
individu dan seluruh aktivitas manusia, yang termasuk didalamnya adalah
aktivitas konseling. Karena itu, dalam melakukan konseling, sangat penting
untuk mempertimbangkan budaya yang ada. Namun dalam kenyataanya, kesadaran
budaya dalam praktek konseling masih sangat kurang. Hal ini sangat berbahaya
konseling yang tidak mempertimbangkan budaya klien yang berbeda akan merugikan
klien. Menurut freire, pendidikan yang tidak melihat budaya klien adalah
pendidikan yang menindas. Kesadaran budaya harus menjadi tujuan pendidikan termasuk
konseling yang lebih mengena.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Model-model Konseling ?
2. Bagaimana
Model-model Konseling berdasarkan perkembangannya ?
3. Bagaimana
Model –Model Konseling Lintas Budaya ?
4. Bagaimana
Pendekatan pada Konseling ?
5. Bagaimana
Pendekatan Konseling Lintas Budaya ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui Model-Model Konseling
2.
Untuk mengeathui Model- Model Konseling berdasarkan
Perkembangannya
3.
Untuk mengetahui Model-Model Konseling
lIntas Budaya
4.
Untuk mengetahui Pendekatan pada
Konseling
5.
Untuk mengetahui Pendekatan Konseling
Lintas Budaya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Model
– Model Konseling
Pelayanan
Bimbingan Konseling di lembaga pendidikan formal diselenggarakan dalam rangka
suatu program bimbingan yaitu suatu rangkaian kegiatan bimbingan yang
terencana, terorganisir dan terkoordinasi selama periode waktu tertentu. Suatu
program bimbingan dan konseling dapat disusun dengan berdasarkan pada suatu
kerangka berfikir dan pola dasar pelaksanaan tertentu.[1]
Model
adalah bentuk pendekatan yang digunakan untuk melakukan konseling. Pendekatan
diambil dari hasil penemuan para tokoh penemu teori. Model bimbingan dalam hal
ini bisa diartikan sebagai kerangka berfikir tentang apa itu bimbingan dan hal
ini dijadikan pedoman dalam praktik pelayanan bimbingan.[2]
Adapun
model-model dalam konseling yaitu :
1.
Terapi
Psikoanalitik
a)
Tujuan
Konselor
Tujuan
utama konseling dalam pola fikir psikoanalisis adalah membuat hal-hal yang
tidak disadari menjadi disadari. Merekonstruksi kepribadian dasar. Hal-hal yang
terdapat dilevel ketidaksadaran dibawa keleval kesadaran. Ketika hal-hal
ditekan didalam ketidak sadaran dimunculkan kembali, maka masalah tersebut
dapat diatasi secara lebih rasional dengan menggunakan berbagai metode.
b)
Peranan
Konselor
Kemampuan konselor dalam membangun hubungan interpersonal
dalam proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan
konseling. Dalam proses konseling, konselor berperan mempertahankan tiga
kondisi inti yang menghadirkan iklim kondusif untuk mendorong terjadinya
perubahan terapeutik dan perkembangan konseli. Dalam peran tersebut konselor
menunjukan sikap yang selaras dan keaslian, penerimaan tanpa syarat, dan
pemahaman empati yang tepat.
2.
Terapi
Humanistik
a)
Tujuan
Konselor
Membantu konseli menemukan konsep dirinya yang lebih positif
lewat komunikasi konseling, dimana konselor mendudukan konseli sebagai orang
yang berharga, orang yang penting, dan orang yang memiliki potensi positif
dengan penerimaan tanpa syarat, yaitu menerima konseli apa adanya. Tujuan utama
pendekatan konseling yaitu pencapaian kemandirian dan integrarsi diri. Dalan
pandangan rogres (1977) tujuan konseling bukan semata-mata menyelesaikan
masalah tetapi membantu konseli dalam proses pertumbuhannya sehingga konseli
dapat mengatasi masalah yang dialaminya sekarang dengan lebih baik dapat
mengatasi masalahnya sendiri dimasa yang akan datang.
b)
Peranan
Konselor
Kemampuan konselor dalam membangun hubungan interpersonal
dalam proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan
konseling. Dalam proses konseling, konselor berperan mempertahankan tiga
kondisi inti yang menghadirkan iklim kondusif untuk mendorong terjadinya perubahan
terapeutik dan perkembangan konseli. Dalam peran tersebut konselor menunjukan
sikap yang selaras dan keaslian, penerimaan tanpa syarat, dan pemahaman empati
yang tepat.
3.
Client-Centered
a)
Tujuan
Menyediakan suatu iklim yang aman dan kondusif bagi eksplorasi
diri klien sehingga ia mampu menyadari penghambat-penghambat pertumbuhan dan
aspek-aspek pengalaman diri yang sebelumnya diingkari. Membantu klien agar
mampu bergerak kearah keterbukaan terhadap pengalaman serta meningkatkan
spontanitas dan perasaan hidup.
4.
Terapi
Gestalt
a)
Tujuan
Terapi Gestalt
Tujuan terapi gestalt bukanlah penyesuaian terhadap
masyarakat. Perls mengingatkan bahwa kepribadian dasar pada zaman kita adalah
neurotik sebab, menurut keyakinannya, kita kita hidup dimsyarakat yang tidak sehat.
Menurut perls kita bisa memilih menjadi bagian dari ketidaksehatan kolektif
atau untuk menghadapi resiko yang menjadi sehat. Tujuan selanjutnya adalah
membantu klien agar menemukan pusat dirinya. Perls mengatakan, “jika berpusat
pada diri anda sendiri, maka anda tidak harus disesuaikan lagi, maka apapun
yang lewat dan diasimilasi oleh anda, anda bisa memahaminya dan anda
berhubungan dengan apapun yang terjadi.
5.
Terapi
Behavior
a)
Tujuan
Konselor
Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau
modifikasi prilaku konseli, yang diantaranya untuk: Menciptakan kondisi-kondisi
baru bagi proses belajar. Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif. Memberi
pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari. Membantu konseli
membuang respons-respons yang lama yang merusak diri atau maladaptif dan
mempelajari respons-respons yang baru yang lebih sehat dan sesuai(adjustive).
Konseli belajar prilaku baru dan mengeliminasi prilaku yang maladaptif,
memperkuat serta mempertahankan prilaku yang diinginkan. Penetapan tujuan dan
tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan bersama antara konseli
dan konselor.
b)
Peranan
Konselor
Peran konselor dalam konseling behavioral berperan aktif,
direktif dan menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan solusi dari
persoalan individu. Konselor behavioral biasanya berfungsi sebagai guru,
pengarah dan para ahli yang mendiagnosa tingkah laku yang maladaptif dan
menentukan prosedur yang mengatasi persoalan tingkah laku individu. Dalam
prosses konseling, konseli yang menentukan tingkah laku apa (what) yang akan
diubah, sedangkan konselor menentukan cara apa yang digunakan untuk mengubahnya
(how) (corey, 1986, p. 180). Selain itu, konselor juga sebagai model bagi
kliennya. Bandura mengatakan bahwa sebagian besar proses belajar terjadi
melalui pengalaman langsung yang didapat melalui observasi langsung terhadap
tingkah laku orang lain. Ia berpendapat bahwa dasar fundamental proses belajar
tingkah laku adalah imitasi, dengan demikian, konselor adalah model signifikan bagi
kliennya.
6.
Terapi
Realitas
a)
Tujuan
Terapi Realitas
Tujuan umum konseling realitas adalah membimbing konseli
kearah mempelajari prilaku yang realistis dan bertanggung jaawab serta
mengembangkan “identitas keberhasilan”. Konselor berkewajiban membantu konseli
dalam membuat pertimbangan-pertimbangan nilai tentang prilakunya sendiri dan
dalam merencanakan tindakan bagi perubahannya.
b)
Peranan
Konselor
Konselor harus kreatif dan mencoba melakukan sintesis
analitik bagian-bagian dari berbagai model yang mungkin lebih bermanfaat
bagi penanganan konselinya. Dengan kata lain, konselor tidak memilih satu model
pendekatan saja untuk semua kasus. Akan tetapi konselor dituntut untuk
memilih bagian-bagian teori yang berbeda secara selektif untuk dimanfaatkan terhadap
kasus tertentu.[3]
B. Model-Model
Konseling Berdasarkan Perkembangannya
Terdapat beberapa model
bimbingan yang berkembang mulai priode awal sampai priode sekarang. Model
bimbingan ini sangat dipengaruhi oleh pandangan para ahli bimbingan terhadap
individu yang dibimbing, konselor, proses, metode, dan hasil bimbingan yang
diharapkan. Di samping itu model ini juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kita perlu memahami model-model bimbingan ini agar
kita memahami secara utuh perkembangan model bimbingan mulai dari awal sampai
sekarang.
a.
Model
bimbingan priode awal
1).
Model bimbingan ini merupakan buah pikiran atau gagasan dari “founding gather of guidance,” yaitu
Frank Parson. Model ini berupaya menjodohkan (matching) karakteristik (kemampuan, minat, dan temperamen) individu
dengan syarat-syarat yang dituntut suatu pekerjaan (okupasi). Dia menyakini
bahwa jika individu bekerja dalam suatu pekerjaan yang sesuai dengan
karakteristik pribadinya, maka yang diuntungkan bukan hanya individu itu
sendiri, tetapi juga masyarakat atau perusahaan (lembaga) yang mempekerjakan
individu itu sendiri.
Berdasarkan
pengamatan Parson taerhadap para pemuda/i di
b.
Model-model
bimbingan priode berikutnya
1).
Bimbingan sebagai distribusi dan penyesuaian
Pada
pertengahan tahun 1920-an, William M. Proctor mengemukakan bahwa sekolah
Menengah Atas di Amerika sangat memerlukan program bimbingan. Dia berpendapat
bahwz bimbingan merupakan kekuatan mediasi (mediating
force)yang membantu para siswa untuk mengatasi masalah-masalah, baik di
sekolah maupun dalam kehidupan pada umumnya. Dia menyakini bahwa para siswa
membutuhkan bantuan dalam memilih bidang studi, kegiatan ekstrakurikuler,
pendidikan lanjutan, dan sekolah-sekolah kejurusan sesuai dengan kemampuan,
minat, dan tujuanna. Selanjutnya Proctor mengemukakan bahwa fungsi bimbingan
sangat terkait proses distribusi dan penyesuaian (adjustment) bagi para siswa untuk mengatasi masalah-asalahnya, baik
disekolah maupun maupun dalam kehidupan pada umumnya.
2).
Bimbingan sebagai proses Klinis
Bimbingan
sebagai proses klinis pertama kali diperkenalkan oleh M.S. Viteles, Donald G.
Paterson, dan E.G. Wiliamson. Model bimbingan ini ditandai dengan ciri-ciri
(1) sebagai proses terhadap metode
tiruan yang sering diangkap sebagai bimbingan, (2)berupaya mengembangkan
teknik-teknik untuk menganalisis individu secara komprehensif, (3) menekankan
peranan konselor yang terlatih secara profesional yang bertugas untuk membantu
siswa yang memiliki masalah kesulitan penyesuaian diri, dan (4) mengikuti
prosedur yang teratur tetapi tidak mekanis, yaitu: analisis, sintesis,
diagnosis, konseling, dan tindak lanjut. Bimbingan sebagai suatu proses klinis
menekankan kepada penggunaan tes psikologis, teknik klinis, dan studi diagnostik
analitik, sehingga clincian
(konselor) dapat memahami kliennya secara lebih cepat dan akurat, serta
membeikan treatment yang lebih cepat juga. Para konselor tiak menaruh perhatian
terhadap pengambilan keputusan bagi klien, tetapi lebih kepada upaya mengorganisasikan
situasi belajar, sehingga klien memperoleh wawasan atau pemahaman tentang
faktor penyebab masalah yang dihadapinya, dan memilih alternatif tingkah laku
yang tepat.
3).
Bimbingan sebagai pengambilan keputusan
Dua
orang ahli, yaitu Jones dan Myer adalah yang pertama kali mempersepsikan
bimbingan sebagai pengambilan keputuasan. Kedua orang ahli berpendapat bahwa
situasi bimbingan itu eksis hanya ketika siswa membutuhkan bantuan dalam
membuat pilihan, interprestasi, atau penyesuaian diri. Bagi Jones, bimbingan
merupakan pemberian bantuan dalam membuat pilihan dan penyesuaian diri,
pemecahan masalah, dan pengembangan kemampuan untuk mengarahkan diri (self-direction).
Dalam
model bimbingan ini, konselor memiliki tugas (1) mendorong siswa untuk memaami
nilai-nilai, dan menyertakan nilai-nilai pilihannya dalam mengambil keputusan;
dan (2) memberikan informasi kepada klien tentang peluang-peluang yang
bermanfaat dari setiap alternatif yang dipilih. Model bimbningan ini berasumsi
bahwa (1) keragaman antara individu cukup berarti, baik dalam aspek abilitas
maupun interes; dan (2) permasalahn tidak dapat diselesaikan dengan sukses oleh
para pemuda ( remaja ) tanpa bantuan dari orang lain yang profesional (
konselor ). Model bimbingan ini sangat berkontribusi terhadap pegembangan sikap
demokratis para siswa, karena mereka dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan tersebut.
4)
Bimbingan sebagai Sistem Eklektik
Kata
“eclectic” berarti menyeleksi atau memilih doktrin, atau metode yang tepat dari
berbagai sumber, teori atau sistem. Bimbingan sebgai sistem elektik tidak dapat
diidentifikasi dengan satu teori tunggal, tetapi merupakan representasi dari
pendapat atau teori Strang, Traxler, Erickson, Froechlich, Darley, Thorne, dan
yang lainnya. Strang merupakan salah seorang ahli bimbingan elektik, yang sejak
tahun 1932 telah banyak mempublikasikan pendapat-pendapatnya.
Model
bimbingan elektik memiliki beberapa asumsi dasar, yaitu; (1) individu
memerlukan bantuan profesional secara periodik dalam rangka memahami diri dan
situasi, serta memecahkan masalahnya; dan (2) individu memiliki kemampuan untuk
belajar dan membantu perencanaan; dan (3) pemberian layanan yang berorientasi
kapada teori tunggal memiliki keterbatasan dalam prosedur, teknik, atau
pandangan dibandingkan dengan yang bersumber kepada beberapa teori.
Model
bimbingan ini merupakan kompromi dari beberapa teori dalam upaya mereduksi
polarisasi dua kutub pelayanan yang pendekatannya sangat berbeda, yaitu kutub
konseling direktif dari Williamson dan
kutub konseling non-direktif dari Rogers.
c.
Model
Bimbingan Kontemporer
1) Bimbingan
sebagai Konstelasi Layanan
Hoyt
mengenalkan model ini pada tahun 1962. Dan mengartikan bimbingan sebagai bagian
dari layanan pribadi siswa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu
melalui perluasan pelayanan sekolah bagi para siswa, yang terkait dengan
pelayanan sekolah bagi para siswa, yang terkait dengan masalaha-masalah
pribadi, pilihan, dan pengembalian keputusan yang sesemuanya itu diarahkan
kepada pencapaian kematangan.
Hoyt
berpendapat bahwa fungsi konselor dalam hubungannya dengan para guru dan
spesialis adalah (1) konselor sebagai konsultan bagi para guru dalam hal
memberikan penjelasan tentang data siswa, mendorong guru agar mau bekerjasama
secara langsung dengan siswa; dan (2) mereferal para siswa kepada para
spesialis pendapat yang lain adalah bahwa kepala sekolah dipandang sebagai
orang yang sangat bertanggug jawab secara langsung terhadap terselenggarakannya
program bimbingan.
Model
konseling ini biasanya eksis di sekolah untuk mendukung pekerjaan para guru,.
Program bimbingan dibutuhkan karena siswa mengalami kesulitan belajar. Oleh
karena itu para siswa perlu diberikan pengajaran remedial, agar mereka berhasil
dalam belajarnya. Pandangan ini menganggap guru sebgai seorang profesional
utama di sekolah, sementara layanan bimbingan hanya sebagai pelengkap, dan
konselor dipandang sebagai tenaga teknis.
2) Bimbingan
Perkembangan
Konsep bimbingan suatu proses perkembangan
menekankan pemberian bantuannya kepada semua siswa, dan meliputi semua bidang
bimbingan: vokasional, pendidikan, personal, dan sosial pada semua tahap atau
rentang kehidupan. Para ahli yang dipandang sebagai pengembang model ini adalah
Wilson Little dan A.L. Chapman yang menyusun buku Developmentan Guidance in the secondary School; herman J Peters dan Gail Farwell, yang
menyusun buku Guidance: A D evelopmental Approach;dan Robert
Mathewson yang menyusun buku Guidance
Policy and Practice.
Bimbingan
dan konseling perkembangan merupakan pandangan mutakhir yang bertitik tolak
dari asumsi yang positif tentang potensi manusia. Berdasarkan asumsi ini
bimbingan dan konseling dipandang sebagai suatu proses perkembangan yang
menekankan kepada upaya membantu semua peserta didik atau individu dalam semua fase
perkembangannya, yang menyangkut aspek-aspek vokasional, pendidikan, pribadi
dan sosial.
Methewson
mencatat empat hal yang terkait dngan mengapa individu membutuhkan bimbingan,
yaitu sebagai berikut.
a).
Kebutuhan individu untuk menilai dan memahami diri.
b).
Kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri dan tuntutan lingkungan.
c).
Kebutuhan untuk memiliki orientasi atau wawasan tentang berbagai kondisi yang
terjadi pada masa sekarang dan yang akan datang.
d).
Kebutuhan untuk megembangkan potensi pribadi.
Bimbingan
pengembangan didasarkan kepada landasan filosofis, individualitas, dan
organisatoris. Landasan-landasan itu dijelaskan sebagai berikut.
(a).
Landasan filosofis
Bimbingan
pengembangan diarahkan kepada pencapaian perkembangan pribadi yang adekuat dan
efektif melalui pemahaman diri dan lingkungan, pemahaman tentang hubungan
anatara diri dengan lingkungan, dan pemahaman nilai-nilai pribadi dan sosial.
(b)
landasan individualitas
Bimbingan
pengembangan menekankan kepada (1) kekuatan individu untuk merancang, beraksi
(berperilaku), dan menilai hubungan antara dirinya dan lingkungannya; (2)
pengembangan potensi diri, (3) cara individu dalam menafsirkan lingkungan atau
situaasi yang terkait dengan kebutuhan, minat dan nilai-nilai serta dampaknya
terhadap penampilan dirinya. Melalui proses bimbingan , individu berlatih untuk
mengembangkan potensi dirinya dan peluang-peluang yang menunjangnya.
(c)
landasan organisatoris
Keberhasilan
bimbingan bergantung kepada kerjasama antara pihak kepala sekolah, konselor,
guru-guru, dan personel sekolah lainnya. Masing-masing mereka diharapkan
memiliki pemahaman tentang siswa. Proses bimbingan berlangsung dari mulai masa
kanak-kanak samapi dewasa, yang pendekatannya bersifat komprehensif.
Berdasarkan
paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa bimbingan dengan pendekatan
perkembangan didasarkan kepada premis-premis (1) semua individu membutuhkan
bimbingan dalam semua rentang kehidupan, (2) prosesnya bersifat komorehensif,
(3) tujuan bimbingan diarahkan kepada pengembangan kemampuan atau potensi
individu, sehingga dia mampu mengembangkannya sendiri secara bermakna, baik
bagi dirinya sendiri maupun orang lain ( masyarakat ). [4]
C.
Model –Model Konseling Lintas Budaya
Palmer
and laungani (2008 : 97-109) mengajukan 3 model konseling lintas budaya yaitu :
1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.
1.
Model berpusat pada budaya (Culture Centred Model)
Palmer and Laungani (2008)
berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualism, bebas, dan
materialisme. Sedangkan budaya timur menekankan komumalisme, emosionalisme,
determinisme dan spirituaisme.
Pengajuan model berpusat pada
budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) gabungan antara budaya
konselor dan klien dalam sebuah konseling. Seringkali terjadi tidak sejalan
atau tidak sesuai antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseling tentang
budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseling tidak mengerti
keyakinan-keyakinan budaya yang secara keseluruhan terhadap budaya klien
begitupun dengan konselor tidak memahami budaya klien secara menyeluruh. Atau
bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya
masing-masing dari mereka.
Oleh sebab itu pada model ini
budaya menjadi pusat perhatian. Artinya fokus utama culture centred model
(model berpusat pada budaya) adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai
budaya yang telah menjadi keyakinan bagi kedua pihak (konselor dan klien) dan
menjadi pola perilaku individu. Dengan cara ini, mereka dapat mengevaluasi diri
masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara
pandang masing-masing.
Dalam proses konseling lintas
agama dan budaya penemuan dan pemahaman konselor dan klien terhadap beda budaya
sangat penting. Dan dengan cara ini antara konseling dan konselor dapat
memahami identitas masing-masing budaya berbeda yang melekat diantara konselor
dan klien.
Pengajuan model konseling
lintas budaya didasarkan pada hubungan budaya antara konselor dan klien yaitu:
1)
Adanya
kemungkinan perbedaan asumsi antara konselor dengan klien tentang budaya
mereka, dan bahkan dalam budayanya sendiri.
2) Adanya kemungkinan tidak faham
atau mengerti konselor dan klien dengan budaya yang menjadikan alasan dasar
mereka dalam budaya tersebut.
2.
Integrative Model
Model integrative dengan
pengalaman-pengalaman budaya dan agama sebagai suatu proses perkembangan
pribadi. Seperti uji coba model terhadap orang kulit hitam Amerika, jones
(Palmen and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu
panduan konseptual dalam konseling model integrative, yaitu se agai berikut:
a. Reaksi terhadap tekanan-tekanan
rasial (reactions to racial oppression).
b.
Pengaruh
budaya mayoritas (influence of the majority culture).
c.
Pengaruh
budaya tradisional (influence of traditional culture)
d.
Pengalaman
dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and
endowments).
Menurut jones (palmer and
Laungani, 2008), pada kenyataannnya sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh
semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjdi kunci keberhasilan
konseling adalah asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya
tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang
dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik
secara disadari ataupun tidak. Yang tidak didasari termasuk apa yang
diungkapkan jung (1972) dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran
kolektif), yakni nilai-nilai budaya yang diturunkan dari generasi kegenerasi.
Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengakses
nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai variabel
diatas.
3.
Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali
diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam pengembangannya dilanjutkan
oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat konseling transkultural yang
berorientasi pada paradikma memfasilitasi dialog dan peningkatan sensivitas
traskutural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam
budaya dengan sembilan model dimensional kerangka pikirannya
a.
Konsepsi
sakit (sickness conception)
Seseorang dikatakan sakit
apabila:
a)
Melakukan
penyimpangan norma-norma budaya
b) Melanggar batas-batas keyakinan
agama dan berdosa
c) Melakukan pelanggaran hokum
d) Mengalami masalah interpersonal
b.
Causal/healing
beliefs
a)
Menjelaskan
model healing yang dilakukan dalam konseling
b)
Mengembangkan
pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseling
c)
Menjadikan
keyakinan konseling sebagai hal familiar bagi konselor
d)
Menunjukan
bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagi (shere) tentang keyakinan
yang sama.
c.
Kriteria
sehat (wellbeing criteria)
Pribadi
yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan
alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh dapat
melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya.
a) Mampu menentukan sehat dan
sakit
b) Memahami permasalahan sesuai
dengan konteks
c) Mampu memcahkan ketidak
berfungsian interpersonal
d) Menyadari dan memahami budayanya
sendiri.
d.
Body
function beliefs
a)
Perspektif
budaya berkembang dalam kerangka pikir lebih bermakna
b)
Sosial
dan okupasi konseling semakin membaik dalam kehidupan sehari-hari
c)
Muncul
intrapsikis yang efektif pada diri konseling
e. Health practice efficacy
beliefs. Ini merupkan implementasi pemecahan masalah dengan pengarahan atas keyakinan-keyakinan
yang sehat dari konseling.[5]
D.
Pendekatan Konseling
1. Pendekatan Psikoanalisis
Psikoanalisis
diciptakan oleh Sigmund Freud pada tahun 1986. Pada kemunculannya, teori Freud
ini banyak mengundang kontroversi, eksplorasi, penelitian dan dijadikan
landasan berpijak bagi aliran lain yang muncul kemudian. Hal-hal yang perlu
dibicarakan mengenai pendekatan psikoanalisis ini adalah: bagaimana
psikoanalisis memandang dinamika kepribadian manusia, perkembangan kepribadian,
kesadaran dan ketidaksadaran, mekanisme pertahanan ego, peran dan fungsi
konselor.
2.
Pendekatan
Eksistensial-Humanistis
Pendekatan
Eksistensial-Humanistis pada hakikatnya mempercayai bahwa individu memiliki
potensi untuk secara aktif memilih dan membuat keputusan bagi dirinya sendiri
dan lingkungannya. Pendekatan ini sangat menekankan teantang kebebasan yang
bertanggung jawab. Individu diberikan
kebebasan seluas-luasnya dalam melakukan
tindakan, tetapi harus berani bertanggung jawab sekalipun mengandung
resiko bagi dirinya.
Menurut Buhler
dan Allen, seorang ahli psikologi humanistis harus memiliki orientasi bersama
yang mencakup hal-hal berikut:
1) Menyadari
pentingnya pendekatan dari pribadi kepribadi
2) Menyadari
dan peran dan tanggung jawab konselor
3) Mengakui
adanya hubungan timbal balik dalam hubungan konseling
4) Konselor
harus terlibat sebagai pribadi yang menyeluruh dengan klien
5) Mengakui
bahwa keputusan dan pilihan akhir terletak ditangan klien
6) Memandang
konselor sebagai model yang dapat menunjukkan pada klien potensi bagi tindakan
yang kreatif dan positif
7) Member
kebebasan pada klien untuk mengungkapkan pandangan, tujuan, dan nilainya
sendiri
8) Mengurangi
ketergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.
3.
Pendekatan
Client-Centered
Willis (2009)
mengatakan bahwa Client-Centered
sering pula disebut sebagai psikoterapi non-directive
yang merupakan metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog
dengan klien agar tercapai gambaran antara ideal
self (diri ideal) dengan actual self (diri sebenarnya). Ciri-ciri
pendekatan Client-Centered adalah:
1) Ditujukan
kepada klien yang mampu memecahkan masalahnya yang tercapai kepribadian klien
yang terpadu
2) Sasaran
konseling adalah aspek emosi dan perasaan, bukan aspek intelektualnya
3) Titik
tolak konseling adalah masa sekarang bukan masa lalu
4) Tujuan
konseling adalah menyesuaikan antara diri ideal dan diri sebenarnya
5) Klien
berperan paling aktif dalam proses konseling, sedangkan konselor hanya
bertindak pasif-relektif (klien bukan
hanya diam tapi membantu klien aktif memecahkan masalahnya)
Rogers
mengemukakan
beberapa sifat konselor yang dijadikan sebagai teknik dalam client-centered sebagai berikut:
a. Empathy
adalah kemampuan untuk sama-sama merasakan kondisi klien dan menyampaikan
kembali perasaan tersebut.
b. Positive
Regard (acceptance) adalah menerima
keadaan klien apa adanya secar netral
c.
Congruence
konselor menjadi pribadi yang terintegrasi antara apa yang dikatakan dan yang
dilakukannya
4.
Terapi
Gestalt.
Mempelajari
terapi Gestalt akan memberikan pemahaman pada pembaca mengenai teknik
pendekatan yang menempatkan manusia sebagai individu yang memiliki kemampuan
untuk berkembang. Dalam terapi Gestalt, adalah istilah yang dikenal sebagai
“urusan yang tidak selesai”. Hal ini mencakup perasaan-perasaan yang tidak
terungkapkan seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan,
kedudukan, rasa berdosa, dan rasa diabaikan. Karena tidak diungkapkan secara
sadar, perasaan-perasaan ini tetap tersimpan dan dibawa ke kehidupan sekarang.
Untuk menangani urusan yang tidak selesai tersebut, individu harus membawanya
ke dalam proses kesadaran dan mengakuinya secara bertanggung jawab (Corey, 2009).
Sasaran utama
teraphy Gestalt adalah pencapaian kesadaran. Tanpa keasadaran, klien tidak akan
mampu menyentuh dimensi kepribadiannyayang ingin ditolak atau dihindarinya.
Sehingga kesdaran dijadikan alat oleh teraphy Gestalt untuk mencapai tujuan
teraphy (Corey, 2009).
a. Teknik
Terapi Gestalt
1. Pengalaman
sekarang
2. Pengarahan
langsung
3. Perubahan
bahasa
4. Teknik
kursi kosong
5. Berbicara
dengan bagian dari dirinya
5.
Terapi
Tingkah Laku (Behavioristik)
Terapi
Behavioristik dugunakan sekitar awal 1960-an atas reaksi terhadap psikoanalisis
yang tidak banyak dianggap tidak banyak membantu mengatasi masalah klien.
Rachaman dan Wolpe (dikutip dari Latipun, 2011) mengatakan bahwa terapi
Behavioristik dapat menangani kompleksitas masalah klien mulai dari kegagalan
individu untuk belajar merespons secara adaptif hingga mengatasi masalah
neurosis.
Para ahli
Behavioristik memandang bahwa gangguan tingkah laku adalah akibat dari proses
belajar yang salah. Oeh karena itu, perilaku tersebut dapat diubah dengan
mengubah lingkungan lebih positif sehingga perilaku menjadi positif pula.
a.
Dinamika
Keprbadian Manusia
Dustin
& George mengemukakan pandangan mereka tentang konsep manusia sebagai
berikut:
1) Manusia
bukanlah individu yang baik atau jahat sehingga memiliki kemampuan untuk
berprilaku baik atau jahat.
2) Manusia
mampu mengonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya sendiri
3) Manusia
dapat memperoleh perilaku yang baru
4) Perilaku
manusia dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
b.
Peran
dan Fungsi Konselor
Bandura
mengatakan bahwa proses fundamental yang paling memungkinkan klien dapat
mempelajari tingkah laku baru adalah melalaui proses imitasi atau pencontohan
social. Konselor dijadikan model pribadi yang ingin ditiru oleh klien karena
klien cenderung memandang konselor sebagai orang yang patut untuk diteladani.
Krasner
mengatakan bahwa konselor berperan sebagai “mesin perkuatan” bagi kliennya.
Konselor dalam praktiknya selalu memberikan penguatan positif atau negative
untuk membentuk tingkah laku baru klien.
c.
Tujuan
Terapi Behavioristik
a)
Tujuan komseling harus disesuaikan
dengan keinginan klien
b)
Konselor harus mampu bersedia membantu
klien mencapai tujuannya
c)
Konselor mampu memperkirakan sejauh mana
klien dapat mencapai tujuannya
6.
Terapi
Rasional-Emotif
Terapi
rasional-emotif diperkenalkan pertama kalinya oleh seorang klinisi yang bernama
Albert Ellis pada tahun 1955. Pada awalnya Ellis merupakan seorang
psikoanalisis, tetapi kemudian ia merasakan bahwa psikoanalisis tidak efisien.
Ia juga seorang ahli terapi yang sangat bersebrangan dengan penganut
humanistis.
Rasional-emotif
menolak keras pandangan psikoanalisis yang mengatakan bahwa pengalaman masa
lalu adalah penyebab gangguan emosional individu. Menurut Ellis penyebab
gangguan emosional adalah karena pikiran irasional individu dalam menyikapi
peristiwa atau pengalaman yang dilaluinya.
Menurut
pandangan Ellis, rasioanl-emotif merupakan teori yang komprehensif karena
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan individu secara keseluruhan
yang mencakup aspek emosi, kognisi dan perilaku. Masalah klien yang mendapat
teraphy rasional-emotif, antara lain kecemasan pada tingkat moderat, gangguan
neurosis, gangguan karakter, gangguan
makan, ketidakmampuan menajalin hubungan interpersonal, masalah perkawinan,
adiksi, dan disfungsi seksual. Adapaun individu yang tidak dapat ditangani
rasioanl-emotif adalah anak-anak (khususnya autisme), gangguan mental grade bawah, skizofrenia jenis katatonik.
a.
Dinamika
Kepribadian manusia
Pandangan Ellis
(dikutip dari Gunarsa, 1996 ) terhdap konsep manusia adalah sebagai berikut:
a) Manusia
mengadaptasikan dirinya terhadap perasaan yang mengganggu pribadinya
b) Kecenderungan
biologisnya sama dengan kecenderungan cultural yang berpikir salah dan tidak
ada gunanya hanya akan mengecewakan dirinya sendiri.
c) Memiliki
kemampuan untuk memilih reaksi yang berbeda dengan yang biasanya ia lakukan
d) Menolak
mengecewakan diri sendiri terhadap hal-hal yang akan terjadi
e) Melatih
diri sendiri agar mempertahankan diri dari gangguan
b.
Peran
dan Fungsi Konselor
1) Mengajak
klien untuk berpikir tentang bentuk-bentuk keyakinan irasional yang memengaruhi
tingkah laku
2) Menentang
klien untuk menguji gagasan-gagasan irasionalnya
3) Menunjukkan
ketidaklogisan cara berpikir klien
4) Menggunakan
analisis logika untuk meminimalkan keyakinan irasional klien
5) Menunjukkan
pada klien bahwa keyakinan irasionalnya adalah penyebab gangguan emosional dan
tingkah laku
6) Menggunakan
absurditas dan humor untuk menghadapi keyakinan irasional klien
7) Menerangkan
pada klien bahwa keyakinannya dapat diubah menjadi irasional dan memiliki
landasan empiris
8) Mengajarkan
pada klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah yang membantunya agar dapat
berpikir secara rasional dan meminimalkan keyakinan yang irasional.[6]
7.
Terapi
Realitas
Terapi
realitas dikembangkan oleh William Glasser, seorang insinyur kimia sekaligus
psikiater pada tahun 1950-an. Adapun focus terphy realitas ini adalah tingkah
laku sekarang yang ditampilkan indvidu.
E.
Pendekatan
Konseling Lintas Budaya
Pendekatan dalam konseling
lintas budaya yaitu:
1. Pendekatan etik (universal)
yang menekankan inklusivitas, komunitas atau keuniversalan kelompok-kelompok
individu atau klien
2. emik (ke-khasan budaya) yang
menyoroti karakteristik yang khas dari suatu populasi secara spesifik dan
kebutuhan-kebutuhan konseling yang khusus bagi mereka.
3. Pendekatan transcultural, yakni
gabungan dari keduanya yang lebih menekankan bahwa kelibatan seseorang dalam
konseling merupakan proses yang aktif dengan mempertimbangkan keuniverslan dan
khasaan dari budaya atau agama klien.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penerapan
konseling lintas budaya hendaknya mengharuskan konselor yang peka tanggap
terhadap adanya keragaman budaya dan adanya berbedaan budaya antar kelompok
klien satu dengan kelompok klien lainnya. Dan antara konselor sendiri dengan
kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses
konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam
interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat
interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam
kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh
individu, budaya yang ada dilingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya
lain yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang
ada di sekitar individu.
DAFTAR PUSTAKA
Hallen A. 2002. Bimbingan dan Konseling.
Jakarta : Ciputat Pars
Gladding, Samuel. 2012. Konseling.
Jakarta : PT Indeks Jakarta
Lumongga
Namora. 2011. Memahami Dasar-dasar
Konseling. Jakarta: Kencana
Yusuf Syamsu. Nurihsan Juntika. 2005. Landasan Bimbingan dan Konseling,
Bandung : PT Remaja Rosdakarya
[1] Hallen A, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta : Ciputat
Pars, 2002), h. 11
[3] https://uthaangel.wordpress.com/2013/04/08/model-model-konseling/ (diakses pada Sabtu, 23
September 2017, pukul 15 :11 p.m)
[4] Syamsu Yusuf, Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling,
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 45-55
[5] https://ndesdesi.wordpress.com/category/model-model-konseling/ (diakses pada sabtu, 23
September 2017, pukul 1:41 p.m)
[6] Namora Lumongga Memahami Dasar-dasar Konseling, (Jakarta:
Kencana 2011) Hal140-182